Senin, 30 Juni 2014
Guru dan Kepala SMP Muh 4 Tayu
Assalamu'alaikum War Wab
Dengan memohon ridho, barokah, taufiq dan hidayah Allah SWT,
perkenankan saya : SIKARANG BATUKAPUR (Makhluk dungu penggembala angin)
mengulas hasrat yang tersirat di dalam niat.
Saya datang dari komunitas pemburu asa yang bersemayam di SMP
Muhammadiyah 4 Tayu, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Saya hadir dengan mengendarai media ini tak lain karena ingin
lebih banyak lagi mengagumi keagungan Allah SWT yang tak terbatas, sehingga
kian jauh saya menerawang misteri Illahi, kian merasa bodoh melebihi
keledai yang tak berbaju.
Lewat media ini saya ingin mengupas apa saja yang mampu saya
kupas, dengan harap jadilah sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, setidaknya untuk diri sendiri.
Tak lupa, mengucapkan banyak terima kasih dan smpati yang
sedalam-dalamnya kepada semua yang berkenan merespon jejak saya ini. Smoga
Allah SWT mengabulkannya. Amiin.
Wassalamu'alaikum War Wab.
SMP Muhammadiyah 4 Tayu
Tunggu ulasan profil berikutnnya............................
TERIMA KASIH
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm
Minggu, 29 Juni 2014
Kuliah Sambil Memulung
Kisah Nyata Perjuangan
Hidup : Kuliah Sambil Memulung
Kisah nyata ini saya ambil dari usaha kreatif
muslim[dot]com. Semoga kisah ini bermanfaat untuk perenungan kita semua,
Aamiin.
Punya pendidikan tinggi merupakan impian tiap orang tapi,bagaimana jika kemiskinan terus menghadang. Jangankan untuk biaya kuliah, buat makan saja susah.
Berikut ini penelusuran dan wawancara Eramuslim dengan seorang pemulung yang kini bisa terus kuliah di jurusan akuntansi di Pamulang, Tangerang. Mahasiswi berjilbab itu bernama Ming Ming Sari Nuryanti.
Sudah berapa lama Ming Ming jadi pemulung ?
Sejak tahun 2004. Waktu itu mau masuk SMU. Karena penghasilan ayah semakin tidak menentu, kami sekeluarga menjadi pemulung.
Sekeluarga ?
Iya. Setiap hari, saya, ayah, ibu, dan lima adik saya berjalan selama 3 sampai 4 jam mencari gelas mineral, botol mineral bekas, dan kardus. Kecuali adik yang baru kelas 2 SD yang tidak ikut.
***
Tempat tinggal Ming Ming berada di perbatasan antara Bogor dan Tangerang. Tepatnya di daerah Rumpin. Dari Serpong kurang lebih berjarak 40 kilometer. Kawasan itu terkenal dengan tempat penggalian pasir, batu kali, dan bahan bangunan lain. Tidak heran jika sepanjang jalan itu kerap dipadati truk dan suasana jalan yang penuh debu. Di sepanjang jalan itulah keluarga pemulung ini memunguti gelas dan botol mineral bekas dengan menggunakan karung.
Tiap hari, mereka berangkat sekitar jam 2 siang. Pilihan jam itu diambil karena Ming Ming dan adik-adik sudah pulang dari sekolah. Selain itu, bertepatan dengan jam berangkat sang ayah menuju tempat kerja di kawasan Ancol.
Setelah berjalan selama satu setengah sampai dua jam, sang ayah pun naik angkot menuju tempat kerja. Kemudian, ibu dan enam anak itu pun kembali menuju rumah. Sepanjang jalan pergi pulang itulah, mereka memunguti gelas dan botol mineral bekas.
Berapa banyak hasil yang bisa dipungut ?
Nggak tentu. Kadang-kadang dapat 3 kilo. Kadang-kadang, nggak nyampe sekilo. Kalau cuaca hujan bisa lebih parah. Tapi, rata-rata per hari sekitar 2 kiloan.
Kalau dirupiahkan?
Sekilo harganya 5 ribu. Jadi, per hari kami dapat sekitar 10 ribu rupiah.
Apa segitu cukup buat 9 orang per hari ?
Ya dicukup-cukupin. Alhamdulillah, kan ada tambahan dari penghasilan ayah. Walau tidak menentu, tapi lumayan buat keperluan hidup.
***
Ming Ming menjelaskan bahwa uang yang mereka dapatkan per hari diprioritaskan buat makan adik-adik dan biaya sekolah mereka. Sementara Ming Ming sendiri sudah terbiasa hanya makan sekali sehari. Terutama di malam hari.
Selain itu, mereka tidak dibingungkan dengan persoalan kontrak rumah. Karena selama ini mereka tinggal di lahan yang pemiliknya masih teman ayah Ming Ming. Di tempat itulah, mereka mendirikan gubuk sederhana yang terbuat dari barang-barang bekas yang ada di sekitar.
Berapa hari sekali, pengepul datang ke rumah Ming Ming untuk menimbang dan membayar hasil pungutan mereka.
Kalau lagi beruntung, mereka bisa dapat gelas dan botol air mineral bekas di tempat pesta pernikahan atau sunatan. Sayangnya, mereka harus menunggu acara selesai. Menunggu acara pesta itu biasanya antara jam 9 malam sampai jam 2 pagi. Selama 5 jam itu, Ming Ming sebagai anak sulung, ibu dan dua adiknya berkantuk-kantuk di tengah keramaian dan hiruk pikuk pesta.
Kalau di hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, keluarga pemulung ini juga punya kebiasaan yang berbeda dengan keluarga lain. Mereka tidak berkeliling kampung, berwisata, dan silaturahim ke handai taulan. Mereka justru memperpanjang rute memulung, karena biasanya di hari raya itu, barang-barang yang mereka cari tersedia lebih banyak dari hari-hari biasa.
Ming Ming tidak malu jadi pemulung ?
Awalnya berat sekali. Apalagi jalan yang kami lalui biasa dilalui teman-teman sekolah saya di SMU N 1 Rumpin. Tapi, karena tekad untuk bisa membiayai sekolah dan cinta saya dengan adik-adik, saya jadi biasa. Nggak malu lagi.
Dari mana Ming Ming belajar Islam ?
Sejak di SMU. Waktu itu, saya ikut rohis. Di rohis itulah, saya belajar Islam lewat mentoring seminggu sekali yang diadakan sekolah.
Ketika masuk kuliah, saya ikut rohis. Alhamdulillah, di situlah saya bisa terus belajar Islam.
Orang tua tidak masalah kalau Ming Ming memakai busana muslimah?
Alhamdulillah, nggak. Mereka welcome saja. Bahkan sekarang, lima adik perempuan saya juga sudah pakai jilbab.
***
Walau sudah mengenakan busana muslimah dengan jilbab yang lumayan panjang, Ming Ming dan adik-adik tidak merasa risih untuk tetap menjadi pemulung. Mereka biasa membawa karung, memunguti gelas dan botol air mineral bekas, juga kardus. Bahkan, Ming Ming pun sudah terbiasa menumpang truk. Walaupun, ia harus naik di belakang.
Ming Ming kuliah di mana ?
Di Universitas Pamulang, Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi S1.
Maaf, apa cukup pendapatan Ming Ming untuk biaya kuliah ?
Jelas nggak. Tapi, buat saya, kemiskinan itu ujian dari Allah supaya kita bisa sabar dan istiqamah. Dengan tekad itu, saya yakin bisa terus kuliah.
Walaupun, di semester pertama, saya nyaris keluar. Karena nggak punya uang buat biaya satu semester yang jumlahnya satu juta lebih. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah semuanya bisa terbayar.
***
Di awal-awal kuliah, muslimah kelahiran tahun 90 ini memang benar-benar melakukan hal yang bisa dianggap impossible. Tanpa uang memadai, ia bertekad kuat bisa masuk kuliah.
Ketika berangkat kuliah, sang ibu hanya memberikan ongkos ke Ming Ming secukupnya. Artinya, cuma ala kadarnya. Setelah dihitung-hitung, ongkos hanya cukup untuk pergi saja. Itu pun ada satu angkot yang tidak masuk hitungan alias harus jalan kaki. Sementara pulang, ia harus memutar otak supaya bisa sampai ke rumah. Dan itu ia lakukan setiap hari.
Sebagai gambaran, jarak antara kampus dan rumah harus ditempuh Ming Ming dengan naik empat kali angkot. Setiap angkot rata-rata menarik tarif untuk jarak yang ditempuh Ming Ming sekitar 3 ribu rupiah. Kecuali satu angkot di antara empat angkot itu yang menarik tarif 5 ribu rupiah. Karena jarak tempuhnya memang maksimal. Jadi, yang mesti disiapkan Ming Ming untuk sekali naik sekitar 14 ribu rupiah.
Di antara trik Ming Ming adalah ia pulang dari kuliah dengan berjalan kaki sejauh yang ia kuat. Sambil berjalan pulang itulah, Ming Ming mengeluarkan karung yang sudah ia siapkan. Sepanjang jalan dari Pamulang menuju Serpong, ia melepas status kemahasiswaannya dan kembali menjadi pemulung.
Jadi, jangankan kebayang untuk jajan, makan siang, dan nongkrong seperti mahasiswa kebanyakan; bisa sampai ke rumah saja bingungnya bukan main.
Sekarang apa Ming Ming masih pulang pergi dari kampus ke rumah dan menjadi pemulung sepulang kuliah ?
Saat ini, alhamdulillah, saya dan teman-teman UKM Muslim (Unit Kegiatan Mahasiswa Muslim) sudah membuat unit bisnis. Di antaranya, toko muslim. Dan saya dipercayakan teman-teman sebagai penjaga toko.
Seminggu sekali saya baru pulang. Kalau dihitung-hitung, penghasilannya hampir sama.
Jadi Ming Ming tidak jadi pemulung lagi ?
Tetap jadi pemulung. Kalau saya pulang ke rumah, saya tetap memanfaatkan perjalanan pulang dengan mencari barang bekas. Bahkan, saya ingin sekali mengembangkan bisnis pemulung keluarga menjadi tingkatan yang lebih tinggi. Yaitu, menjadi bisnis daur ulang. Dan ini memang butuh modal lumayan besar.
Cita-cita Ming Ming ?
Saya ingin menjadi da’i di jalan Allah. Dalam artian, dakwah yang lebih luas. Bukan hanya ngisi ceramah, tapi ingin mengembangkan potensi yang saya punya untuk berjuang di jalan Allah. (MN) [Sumber : Era Muslim]
Naahhh…
Bagaimana dengan kita ?
Masihkah kita mengeluh dan tidak bersyukur dengan tidak memaksimalkan potensi yang ada pada diri ?!
Jumat, 27 Juni 2014
Lelaki Berjubah Putih
Keajaiban Kupang 1998: Misteri Lelaki Berjubah Putih
Menunggang Kuda
Kupang (voa-islam) – Tidak ada media massa yang memberitakan keanehan yang
terjadi pada saat peristiwa Kerusuhan Kupang 1998 yang lalu. Di tiga tempat
yang berbeda, ketika kaum Muslimin yang minoritas itu dikepung oleh kaum
Salibis, banyak mata yang menjadi saksi, saat melihat dari arah ketinggian,
nampak lelaki berjubah putih yang sedang menunggang kuda dalam jumlah yang
banyak. Subhanallah, tentara Allah betul-betul turun di Kupang ketika umat
Islam dalam keadaan terjepit.
Seorang pemuda di Airmata, sebuah
pemukiman Muslim di Kupang, menceritakan, tak sedikit masyarakat Kristen yang
menyaksikan dari atas bukit. Mereka seolah-olah melihat, ada banyak kerumunan
massa di Airmata. Percaya atau tidak, orang kafir itu melihat lelaki berjubah
putih dan bersurban sedang menunggang kuda dalam jumlah yang besar. Lalu
bergetarlah hati Masyarakat Kristen yang saat itu hendak menyerang kampung
Muslim.
Rupanya keanehan itu tidak hanya
terjadi Kampung Airmata, melainkan juga di Kampung Solor, sebuah pemukiman
muslim di Kota Kupang. Kali ini orang kafir melihat anak-anak berjubah putih
dalam jumlah yang besar seraya memegang kayu yang diayun-ayunkan. Maka
bergetarlah hati kaum salibis yang ketika itu hendak membakar Kampung Solor.
Ketika voa-islam bersilaturahim
ke Pondok Pesantren Hidayatullah di Batakte, Kupang Barat, pimpinan pesantren
tersebut juga menceritakan hal yang sama. Banyak mata yang menjadi saksi, yang
saat itu melihat ada banyak anak kecil berjubah putih seraya memegang senjata
tajam.
“Ketika itu pesantren didatangi
kelompok massa Kristen sebanyak dua truk dengan menggunakan ikat kepala merah.
Mereka bukan hanya memblokade jalan di Batakte, tapi juga bermaksud untuk
membakar masjid di kompleks Hidayatullah. Alhamdulillah, Allah melindungi kami
di sini. Kami ingat, santri yang hendak melalui blokade itu harus menyanyikan
lagu-lagu Yesus atau gereja. Dengan terpaksa, santri itu menuruti kemauan
mereka,” kenang Ustadz Usman Mamang, pimpinan Pesantren Hidayatullah Kupang,
NTT.
Peristiwa Kupang 1998
Tanpa bermaksud membuka luka lama,
perlu kiranya mengetahui latar belakang kejadian dan peristiwa kerusuhan Kupang
tahun 1998. Bermula, dari acara perkabungan dilakukan oleh pemuda dan mahasiswa
Kristiani di Kupang yang tergabung dalam panitia Gemakristi sehubungan dengan
peristiwa Ketapang Jakarta, berkembang menjadi aksi penutupan jalan raya.
Di sejumlah titik perkabungan di
jalan-jalan dibangun blokade. Warga menyekat jalan antara lain dengan peti
mati, salib berukuran besar, serta gambar Kristus bermahkota duri. Ini antara
lain dapat disaksikan di depan Gereja Kota Kupang, dan beberapa lokasi di Jalan
Soedirman, Kuanino.
Perkabungan ini berlangsung selama
24 jam, mulai Senin pukul 06.00 Wita. Perkabungan rencananya akan ditutup
dengan kebaktian Oekumene, Selasa pagi di GOR Oepoi, Kupang. Upacara
perkabungan diteruskan dengan pawai besar-besaran mengitari beberapa ruas jalan
di Kota Kupang seperti Jalan Ahmad Yani-Merdeka, Urip Sumoharjo, Moh Hatta dan
Sudirman Kuanino dan berbelok ke Jalan Pemuda-Jalan Cak Doko dan Jalan
Lalamentik menuju ke Oebufu.Ketika itu semua kantor, pertokoan, dan pasar
tutup. Kota Kupang sejak pagi Nampak lengang.
Kebanyakan warga kota dan daerah
sekitarnya ambil bagian dalam aksi Gemakristi (Gerakan Perkabungan Umat
Kristiani) sebagai wujud rasa solidaritas atas berbagai peristiwa, termasuk
peristiwa Ketapang pekan lalu. Semua kendaraan angkutan penumpang dan barang
dalam dan luar kota, berhenti beroperasi. Kantor pemerintah dan swasta,
sekolah, pertokoan dan kios, tutup. Begitu juga pasar rakyat praktis lengang
tanpa pengunjung.
Suasana berubah menjadi rusuh karena
adanya sekelompok massa yang menyusup kedalam acara tersebut, telah memicu massa
melakukan aksi pelemparan rumah ibadah/masjid dan pengrusakan terhadap beberapa
rumah dan kantor serta tindak kerusuhan lainnya.
Kronologisnya, menurut data dari
Departemen Pertahanan RI, tanggal 30 November 1998 pagi hari di kota Kupang
dilaksanakan acara perkabungan nasional yang diawali dengan kegiatan membagi
bunga di jalan-jalan protokol kepada setiap orang yang lewat kemudian
berkembang menjadi penutupan/pemblokiran jalan-jalan raya.
Pukul 10.00 WITA tanggal 30 November
1998 suasana menjadi rusuh karena ada sekelompok massa dari luar kota menyusup
kedalam acara tersebut. Saat melewati ruas jalan Oebufu, massa mulai melempari
beberapa rumah, kios serta toko. Massa terus bergerak ke arah Jalan El Tari II menuju
ke Penfui dan kembali memutar ke arah Oesapa.
Saat memasuki Jalan Adi Sucipto di
kawasan Oesapa, beberapa rumah pengusaha yang berada di simpang tiga menjadi
sasaran pelemparan sehingga kaca di bangunan itu berantakan. Hal yang sama juga
terjadi di sekitar wilayah Oesapa Kecil. Beberapa kios dan bangunan serta
sebuah sedan kacanya remuk dilempari batu.
Sekitar pukul 11.15 Wita, massa yang
sudah tidak terkendali kembali lagi ke kota Kupang dan memasuki kawasan
Kelurahan Solor. Di daerah ini juga terjadi saling lempar antara massa yang
konvoi dengan warga setempat. Massa Kristen bahkan melakukan aksi
pelemparan Masjid Al Fatah di kelurahan Solor serta Masjid Raya di kelurahan
Fontein. Aksi tersebut terhenti sementara karena turun hujan, namun kemudian berlanjut
kembali dengan sasaran pengrusakan dan pembakaran terhadap rumah ibadah, rumah
tinggal dan fasilitas umum.
Pada pukul 13.10 WITA tanggal 1
Desember 1998 massa melakukan pengrusakan terhadap kantor Hutan Tanaman
Industri Kupang.Pihak aparat kemudian melakukan langkah-langkah untuk
melokalisir peristiwa agar tidak meluas, mengadakan dialog dan pertemuan dengan
tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk menyelesaikan masalah.
Setelah terjadi aksi saling melempar
di depan sebuah masjid, berita menyebar dengan cepat. Akibatnya ratusan pemuda
dari berbagai penjuru berdatangan dan membalas provokasi, dan terjadilah saling
lempar dengan warga di belakang kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang.
Sekitar pukul 17.00 Wita, massa
bergerak menuju kampus Universitas Muhammadiyah Kupang, namun dihalau pasukan
keamanan. Menurut informasi hingga pukul 18.30 Wita, dua masjid dibakar
yaitu di daerah sekitar Kolhua dan di Bakunase. Tiga lainnya dirusak, yaitu
Masjid Raya Kupang, Masjid Attaqwa Naikoten, dan masjid di sekitar kantor Kodya
Kupang.
Pembakaran lainnya menimpa Asrama
Haji di Bilangan Oebufu, Kodya Kupang, sebagian bangunan Pasar Inpres Naikoten
II, SMP dan SMA Muhammadiyah. Suasana kota hingga Senin malam mencekam. Warga
kota terlihat saling curiga antara satu dengan yang lainnya. Mereka rata-rata
membawa senjata tajam, pentungan dan lainnya.
Akibat kejadian tersebut,
menimbulkan luka berat (2), luka ringan (25), kerusakan masjid/ mushola (9),
rumah tinggal (44), kios/ toko (45), rumah makan (30), gedung sekolah (3),
kendaraan roda 4 (14) dan roda dua (16) serta 3.962 penduduk mengungsi.
Kerusuhan pun meluas, aksi
perkabungan nasional juga berlangsung di Kota SoE, Kabupaten Timor Tengah
Selatan (70 Km sebelah Timur Kupang). Begitu lonceng gereja berbunyi, penduduk
keluar rumah mengetuk tiang listrik dengan membawa parang, golok, dan benda
tajam lainnya. Masjid dikepung, dirusak, dan dibakar. Rumah dan toko milik
milik BBMJ (Bugis, Bone, Makasar, dan Jawa) yang muslim itu diobrak-abrik,
dirusak dan dijarah massa Kristen. Hari tu, tak ada Media lokal yang
memberitakan, sebab, informasi kan sudah dimonopoli nonmuslim.
Yang mengejutkan, saat menjadi
penceramah dalam seminar yang digelar Universitas Nusa Cendana, Theo Syafei
ketika itu (15 November 1998) mengatakan, kalau di Jawa orang bisa bakar
gereja, kenapa kita di sini tak bisa bakar masjid. Tepuk tangan pun bergemuruh
di kampus itu.
Kupang dan sekitarnya ibarat api
dalam sekam, jika daerah lain yang disulut, maka akan berimbas ke Kupang. Ingat
Kasus Ketapang di Jakarta, bara api itu sampai terbawa ke Kota Kupang. Hampir
saja, kasus Temanggung, kembali menyulut di kota ini. Saat ini masyarakat
Kupang pada umumnya, semakin dewasa, mereka tak mau lagi diprovokasi oleh pihak
dan kelompok tertentu yang ingin Kupang membara dan berdarah-darah. Desastian
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2011/11/23/16792/keajaiban-kupang-1998-misteri-lelaki-berjubah-putih-menunggang-kuda/#sthash.MSWJxcdp.dpuf