Cerpen
BBM
(Oleh :
Sikarang Batukapur)
Siang ini tak seperti
biasanya. Langit belahan barat sudah dipenuhi mendung tebal, menghitam. Kian merambat perlahan ke
segala penjuru, hingga kecerahan langit menjadi surut ditelan keremangan,
bagaikan senja yang mulai merayap. Loncatan halilintarpun mengenali kodratnya
untuk tampil membelah angkasa, dengan menebar kesan menyeramkan. Sejenak kemudian ledakan keras mengguncang angkasa.
Suara petir yang menakutkan telah datang melengkapi suasana. satu dua airpun
mulai menetes dari langit.
Beberapa hari ini
memang sering hujan. Padahal menurut perkiraan warisan nenek moyang, sekarang
ini biasanya sudah masuk di kawasan musim kemarau. Tapi kali ini nampaknya
memang di luar kelaziman. Mungkin dikarenakan bumi yang semakin panas, sehingga
Tuhan harus mengguyurkan hujan yang lebih banyak lagi agar bumi bisa bertahan
hingga kiamat.
Pada saat ini tak hanya
siang saja yang sedang murung meratapi kecerahannya, namun diantara gelegar petir yang membabi buta itu
ada seorang lelaki separo baya penjual garam yang sedang dirundung kegalauan.
Hatinya resah jika hujan segera turun, karena kawatir garam yang dibawanya
dengan sepeda itu akan dimusnahkan oleh air hujan. Mau berlindung di mana ?,
sedangkan perjalanan memuat satu setengah kwintal garam dengan sepeda ontel itu
telah sampai di pertengahan jalan tenggang. Hanya pepohonan saja yang ada di
kanan-kiri jalan. Sedangkan rumah, satupun tak ada. Tinggal satu harapan untuk
bisa berteduh, karena sekitar satu kilometer lagi ada sebuah gardu tua yang
biasa dipakai tidur orang gila. Itupun kalau hujan mau menunda turunnya
beberapa menit lagi.
Lelaki penjual garam
yang bernama Darso itu mengajuh sepedanya kuat-kuat. Bunyi derit pengayuh yang
bergesekan dengan porosnya semakin keras, seolah berteriak kesakitan. Sepeda
Darso sebenarnya memang sudah uzur. Semestinya beban seberat itu bukan
angkatannya. Bayangkan !, kurang-lebih hampir mendekati dua kwintal, berat
garam ditambah dengan badan Darso dipaksakan untuk diangkut ke pasar dengan
sepeda setua itu. Padahal jarak yang harus ditempuh sekitar dua puluh lima
kilometer dari rumahnya ke sebuah pasar kota tempat Darso menjual garam. Tidak
remuk di perjalanan saja sudah untung, mengingat kekejamannya memperlakukan
sepeda tua. Sedangkan Darso yang usianya lebih muda dari sepedanya saja
nafasnya terengah-engah, karena tak wajar memaksa kekuatan otot kakinya. Tapi
itu harus dilakukan demi keselamatan garam dagangannya dari musibah hujan yang
tengah mengancam, walaupun harus bertaruh dengan keselamatan sepeda tuanya.
Halilintar hadir
kembali, disusul gelegar petir yang menakutkan.
Rintik hujanpun kian menambah butirannya, sehingga baju Darso yang sudah
dibasahi keringat semakin bertambah kuyup dan kumal, memicu kecemasan yang
amat sangat. Kecemasan yang memilukan mengingat anak istrinya dirumah yang
menanti setitik rezeki dari hasil jualan garam. Mengingat hasil jualannya hari
ini untuk menyambung hidup sore nanti. Maka Darso ingin cepat-cepat menghindari
percikan hujan. Dan nasib mujur nampaknya masih berpihak pada Darso, karena dengan
mempercepat beberapa kayuhan lagi sepeda Darso sudah bisa berbelok ke gardu tua. Ya, tinggal sedikit
sedikit lagi sampai. Dan Betapa besar Darso mensyukuri pertolongan Tuhan
terhadap dirinya, karena sesampainya di gardu hujan turun begitu deranya.
“Selamat
pagi, bapak “, sapa ramah seorang laki-laki yang lebih dahulu berteduh di gardu
tua itu kepada Darso, setelah Darso menyadarkan sepedanya di diding dalam
gardu.
Lelaki
itu juga membawa sepeda, Cuma berbeda dengan sepeda Darso. Bukan hanya model
dan catnya yang lebih bagus, tetapi usianya jelas jauh lebih muda.
“Selamat
pagi”, jawab Darso.
Lelaki
tampan seusia Darso itu kemudian mendekati kranjang garam yang tetap nongkrong
di atas sepeda Darso. Sebungkus garam batangan diambilnya, ditimang-timang,
dilihatnya sederetan tulisan yang ada di permukaan plastik bungkus garam itu.
“Mau
dibawa ke mana, pak ?”, lanjut lelaki itu.
Darso
tahu maksud pertanyaan itu, maka dengan singkat dia menjawab, “Ke pasar”.
“Kenapa
garam sebanyak ini Cuma diangkut pakai sepeda, pak ?. Ma’af ya pak, apa tidak
sebaiknya pakai motor ?. kan kasihan sepedanya, pak”, papar lelaki itu seolah
memberi petuah ala seorang pejabat.
Darso
tidak tersinggung dengan pertanyaan itu. Dia memaklumi, memang mengangkut beban
berat, apalagi jaraknya cukup jauh, sekarang ini sudah tidak jamannya lagi
dengan pakai sepeda, sedangkan pencari rumput saja banyak yang pakai motor.
“Saya
baru dua kali ini pakai sepeda, pak. Sebelumnya juga pakai motor”, Darso
menjelaskan.
“Tapi
kenapa motornya tidak dipakai ?”, selidik lelaki itu.
“Ya,
sejak harga BBM naik saya memutuskan untuk tidak pakai motor, pak. Bayangkan
saja !, kemarin ketika sidang kenaikan harga BBM belum jelas keputusannya,
sudah banyak pedagang yang mencuri start untuk merubah harga dagangannya.
Apalagi sekarang, jelas-jelas pemerintah telah
memberlakukan. Sudah bisa dipastikan tarip kencing di toilet umumpun
akan berubah. Jadi tidak ada barang tidak berubah harga. Hanya di masjid atau
surau saja yang tetap bertahan tidak memasang tarip kencing”, jawab Darso yang
terkesan jengkel.
“Kalau
semua berubah harga, garamnya bapak ya dirubah saja harganya, biar penghasilan
bapak juga ikut berubah, sehingga kondisi ekonomi bapak tetap stabil”, argumen
lelaki itu memotivasi Darso.
Darso diam tak bicara,
namum pikirannya tidak diam. Masih terngiang kata-kata lelaki itu, tentang
‘harga berubah tetapi ekonomi tetap stabil’. Mana mungkin keadaan itu dengan
mudah bisa terjadi, semudah teori yang dikatakan lawan bicara Darso, sedangkan
yang sudah terjadi berulang-ulang, setiap terjadi kenaikan BBM, dampaknya
selalu memperdalam jurang kemiskinan. Darso memang orang kecil berpendidikan
rendah, maka yang dia jadikan rujukan
bukanlah teori yang muluk-muluk, tetapi pengalaman yang dialami. Maka
penyesalan Darso sangat sederhana sekali, yaitu meratapi para pendahulu
republic ini yang telah menyusukan subsidi BBM kepada rakyat, sehingga
berdampak pada ketergantungan yang sulit untuk dilepaskan. Seandainya sejak
dahulu tidak ada subsidi BBM mungkin tidak akan begini kejadiannya.
“Sekarang
ini segala macam pekerjaan banyak pesaingnya, pak, sehingga mau menaikkan harga
barangpun tidak boleh gegabah kalau masih menginginkan dagangannya laku.
Apalagi barang saya ini garam,
dimana-mana banyak orang jual. Akhirnya, ya biar dapat untung sedikit
asal pulang bawa uang untuk menyambung
hidup nanti sore dan esuk hari. Kalau dulu sebelum BBM naik harga sih masih punya sisa untuk ditabung, tapi
sejak kemarin justru tabunganya yang ganti membantu kekurangan hasil yang saya
peroleh. Maka saya pikir lebih baik tidak pakai motor, biar tidak tambah
ongkos”, urai Darso.
“Ma’af
lagi ya, pak. Bapak kebagian BLT, kan ?”, Tanya lelaki itu seakan
mengintrograsi.
“Dapat,
tapi sudah dipakai untuk bayar seragam sekolah anak saya“, jawab Darso jujur.
“Tenang,
tidak usah galau, pak, nanti saya carikan solsinya. Bapak punya ijasah,kan ?”, lanjut
lelaki itu berlagak orang penting.
“Punya,
tapi hanya SMP”, jawab Darso merendah.
Lelaki
itu lantas mengambil sobekan kertas dan bolpoin dari saku bajunya. Sepertinya
ada yang dituliskan pada sobekan kertas itu. Entah apa. Tapi kalau
menyimak guratan keningnya sih kelihatan
serius banget.
“Tak
apa, ini bapak saya kasih memo, besuk segera saja diserahkan ke bupati. Lalu
bapak tanya ke dia, kapan memo dari saya ini bisa direalisasikan. Oh ya, untuk
lebih memantapkan, bapak sebut saja nama saya ‘Andika’ menteri kehutanan yang
memberi memo ini. Percaya sama saya,
pak, tinggal tunggu seminggu dua minggu bapak akan diangkat jadi PNS. Paham,
pak ?”,kata lelaki itu sambil memberikan robekan ketas kepada Darso.
Darso
menerima kertas itu. Dilihatnya sederetan tulisan yang dikatakan memo tadi. Kalau
diniai dari omongan dan maksud yang
terkandung pada tulisan itu sih memang tak perlu diragukan lagi kalau perilaku
yang demikian itu umumnya milik pejabat penting. Tapi, apa ya ada pejabat kok
menyesatkan diri di gardu tua, pakai kendaraan sepeda ontel, sendirian lagi ?.
Seandainya dia memang betul pejabat, lantas apa tujuannya dia memartabatkan
dirinya sebagai orang kecil ?. Apa dia lagi mengintelejeni dampak kenaikan BBM
ini ?. Beberapa pertanyaan itu lahir dari pikiran Darso yang kurang yakin
dengan apa yang baru dijumpainya.
PNS, Pegawai Negeri
Sipil seperti yang ditawarkan lelaki itu, kehidupannya dijamin pemerintah, tak
gentar dengan kenaikan harga BBM. Sungguh merupakan sebuah tahta surga dunia
menurut Darso. Bagaimana tidak ?. Lha wong sudah jadi pedoman umum kok, kalau
BBM berubah harga, barang di pasaran
berubah harga, sampai sembako juga berubah harga, gaji PNS bertambah
banyak, orang kecil terbirit-birit. Kenaikan harga BBM dijadikan alasan subsidi
yang salah alamat. Lagi pula, kenapa sih ada iklan di TV yang seolah
menyesalkan tentang delapan puluh persen
subsidi BBM salah sasaran hingga penikmatnya para orang kaya ?. Orang-orang
cerdas yang mengemudikan pemerintahan sejak semula kan sudah sangat faham,
kalau subsidi itu untuk kalangan bawah, tapi kenapa para operator mesin-mesin
pompa BBM tak punya nyali untuk melayani pembelinya sebagaimana mestinya ?. Itu
kan sangat kentara kalau nyali para operator telah dikarantina agar tidak
mengenali level pembelinya. Coba saja, seandainya ada identitas anti manipulasi
yang hanya dimiliki orang-orang yang layak menerima subsidi BBM, dan ada sanksi
hukuman bagi yang melanggar, tentu saja subsidi BBM tidak akan salah alamat.
Darso di usia remajanya
memang pernah berharap jadi orang yang kehidupannya kelak ditanggung oleh pemerintah.
Namun semenjak orang tuanya yang buruh tani tak mampu lagi membeayai sekolahnya
di Sekolah Madrasah Aliyah, maka Darso lebih memilih menyandang gelar ‘Drop
Out’. Dan sejak itu pula ia membunuh asanya untuk menjadi PNS.
“Kenapa
merenung, pak ?. Bapak masih bingung dengan keterangan saya tadi ?”, ucap
lelaki itu mengusir lamunan Darso.
“Ti…ti….tidak,
pak, saya cuma terbayang dengan opini para pakar polotik tentang kenaikan harga
BBM kemarin di TV”, sangkal Darso.
“Jangan
kebawa sama mereka, pak !. Bapak tahu, nggak, yang namanya polotik itu tak
pernah punya tampang yang tetap ?. Jadi mereka itu siluman yang tampangnya berubah-ubah
sesuai dengan impian publik, karena mereka menghendaki dukungannya demi
kesuksesan pribadi atau kelompoknya meraka”,
kata lelaki tampan itu yang kemudian mendekati sepedanya.
“Jadi
bapak jangan bingung, apalagi bimbang dengan bantuan saya tadi. Besuk bapak
harus meluangkan waktu untuk bisa ketemu
sama bupati. Ingat, peluang ini hanya saya kasihkan untuk bapak, yang lain
tidak, dan tidak ada kesempatan yang kedua kali. Nah, sekarang silahkan bapak
menunggu hujan reda, sedang saya harus pamit meneruskan perjalanan”,lanjut
lelaki misterius itu yang diakhiri dengan berjabat tangan.
“Pak,
hujannya masih deras”, Darso memperingatkan.
“O…,nggak
masalah, pak. Saya sudah terbiasa kehujanan”, jawab lelaki itu sambil
mrengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Kiranya ada sebuah benda yang sedang
dipegang, kemudian ditiup. Oh, balon. Dan
balon yang belum begitu penuh dengan udara itu lantas diikat di garpu depan
sepedanya.
“Dug...dug…du...dug…dug…”,
lelaki itu membuat suara seperti letupan mesin motor dari mulutnya.
Sepedanyapun mulai bergerak. Putaran jeruji roda depan yang bersentuhan dengan
balon menghasilkan bunyi yang mirip dengan suara yang sudah terlebih dahulu
lepas dari mulutnya. Lelaki aneh bersama kendaraannyapun pergi ditelan hujan.
“Gila”,
gerutu Darso menanggapi peristiwa yang
baru saja terlintas di depan matanya. Kegundahan yang semula menyelimuti
pikiran sementara lepas terbawa lelucon konyol yang tak pernah terpikir
sebelumnya. Darso tersenyum simpul mengingat dirinya sendiri yang baru saja
terlibat kedalam akting gila yang
dimainkan oleh orang gila. Tapi Darso benar-benar bersyukur dengan kondisinya
yang waras, walaupun lagi diperankan sebagai orang yang kekurangan materi oleh
Tuhan. Dia sangat percaya Tuhan akan merubah nasib orang yang sungguh-sungguh
mau berusaha merubahnya, kendatipun kerja keras yang menjadi taruhannya.
Hujan mulai reda,
tinggal butiran air kecil-kecil yang masih berjatuhan dari langit. Namun Darso
belum berniat meninggalkan gardu. Ia harus menambah kesabarannya sampai air benar-benar berhenti menetes, karena
mempertimbangkan barang bawaannya rawan terhadap air. Apalagi barang itu merupakan
satu-satunya harapan untuk menopang kehidupan keluarganya setelah semuanya
habis terjual. Akan tetapi begitu hujan benar-benar reda, dan Darso sudah siap
mengayuh sepedanya, tiba-tiba ada sosok
mobil mewah yang berhenti tepat di depan gardu, maka Darsopun menahan niatnya begitu melihat seorang
perempuan muda keluar dari pintu mobil.
“Selamat
pagi, pak”, wanita itu mengucap salam.
“Selamat
pagi”, balas Darso.
Wanita
itu diam sejenak, tetapi tangan kanannya mengambil sesuatu dari dalam tas yang
dibawanya. Dan sebuah foto ukuran
postcard terangkat dari tas, kemudian ditunjukkan kepada Darso sembari
bertanya, “Ma’af, kalau boleh tanya, apa bapak pernah ketemu atau pernah
melihat orang ini ?”.
Begitu
melihat foto itu Darso langsung saja mengenali.
“ya…ya…,
saya tahu, tadi sempat berbincang di sini dengan saya. Namanya ‘pak Bargawa
Rangga Samudra’, kan ?. Dia sudah pergi , tapi belum jauh kok. Arahnya ke
sana”, jawab Darso disertai dengan telunjuk tangan kanannya yang diarahkan ke
jalan yang dilintasi pak Bargawa.
“Betul,
pak. Namanya sama dengan yang bapak sebutkan. Maka saya sangat berterima kasih
atas petunjuknya, pak. Dan kalau bapak berkenan, tolong bapak tuliskan nama dan
alamat bapak disini”, timpal wanita cantik itu dengan mengulurkan buku kecil
bersama bolpoin kepada Darso.
Darso
memenuhi permintaan wanita yang kelihatan resah di depannya. Namun wanita itu
segera pergi setelah menerima buku dan bolpoin dari Darso. Demikian juga Darso,
cepat-cepat meninggalkan gardu tua untuk melanjutkan tujuannya ke pasar menjual
garam.
Pati Utara, awal Juni 2013
0 komentar:
Posting Komentar