Sabtu, 14 Juni 2014

BBM


Cerpen
BBM
(Oleh : Sikarang Batukapur)

                         Siang ini tak seperti biasanya. Langit belahan barat sudah dipenuhi mendung  tebal, menghitam. Kian merambat perlahan ke segala penjuru, hingga kecerahan langit menjadi surut ditelan keremangan, bagaikan senja yang mulai merayap. Loncatan halilintarpun mengenali kodratnya untuk tampil membelah angkasa, dengan menebar kesan menyeramkan.  Sejenak kemudian ledakan keras mengguncang angkasa. Suara petir yang menakutkan telah datang melengkapi suasana. satu dua airpun mulai menetes dari langit.
                         Beberapa hari ini memang sering hujan. Padahal menurut perkiraan warisan nenek moyang, sekarang ini biasanya sudah masuk di kawasan musim kemarau. Tapi kali ini nampaknya memang di luar kelaziman. Mungkin dikarenakan bumi yang semakin panas, sehingga Tuhan harus mengguyurkan hujan yang lebih banyak lagi agar bumi bisa bertahan hingga kiamat.
                         Pada saat ini tak hanya siang saja yang sedang murung meratapi kecerahannya, namun  diantara gelegar petir yang membabi buta itu ada seorang lelaki separo baya penjual garam yang sedang dirundung kegalauan. Hatinya resah jika hujan segera turun, karena kawatir garam yang dibawanya dengan sepeda itu akan dimusnahkan oleh air hujan. Mau berlindung di mana ?, sedangkan perjalanan memuat satu setengah kwintal garam dengan sepeda ontel itu telah sampai di pertengahan jalan tenggang. Hanya pepohonan saja yang ada di kanan-kiri jalan. Sedangkan rumah, satupun tak ada. Tinggal satu harapan untuk bisa berteduh, karena sekitar satu kilometer lagi ada sebuah gardu tua yang biasa dipakai tidur orang gila. Itupun kalau hujan mau menunda turunnya beberapa menit lagi.
                         Lelaki penjual garam yang bernama Darso itu mengajuh sepedanya kuat-kuat. Bunyi derit pengayuh yang bergesekan dengan porosnya semakin keras, seolah berteriak kesakitan. Sepeda Darso sebenarnya memang sudah uzur. Semestinya beban seberat itu bukan angkatannya. Bayangkan !, kurang-lebih hampir mendekati dua kwintal, berat garam ditambah dengan badan Darso dipaksakan untuk diangkut ke pasar dengan sepeda setua itu. Padahal jarak yang harus ditempuh sekitar dua puluh lima kilometer dari rumahnya ke sebuah pasar kota tempat Darso menjual garam. Tidak remuk di perjalanan saja sudah untung, mengingat kekejamannya memperlakukan sepeda tua. Sedangkan Darso yang usianya lebih muda dari sepedanya saja nafasnya terengah-engah, karena tak wajar memaksa kekuatan otot kakinya. Tapi itu harus dilakukan demi keselamatan garam dagangannya dari musibah hujan yang tengah mengancam, walaupun harus bertaruh dengan keselamatan sepeda tuanya.
                         Halilintar hadir kembali, disusul gelegar petir yang menakutkan.  Rintik hujanpun kian menambah butirannya, sehingga baju Darso yang sudah dibasahi  keringat semakin  bertambah kuyup dan kumal, memicu kecemasan yang amat sangat. Kecemasan yang memilukan mengingat anak istrinya dirumah yang menanti setitik rezeki dari hasil jualan garam. Mengingat hasil jualannya hari ini untuk menyambung hidup sore nanti. Maka Darso ingin cepat-cepat menghindari percikan hujan. Dan nasib mujur nampaknya masih berpihak pada Darso, karena dengan mempercepat beberapa kayuhan lagi sepeda Darso sudah bisa  berbelok ke gardu tua. Ya, tinggal sedikit sedikit lagi sampai. Dan Betapa besar Darso mensyukuri pertolongan Tuhan terhadap dirinya, karena sesampainya di gardu hujan turun begitu deranya.
“Selamat pagi, bapak “, sapa ramah seorang laki-laki yang lebih dahulu berteduh di gardu tua itu kepada Darso, setelah Darso menyadarkan sepedanya di diding dalam gardu.
Lelaki itu juga membawa sepeda, Cuma berbeda dengan sepeda Darso. Bukan hanya model dan catnya yang lebih bagus, tetapi usianya jelas jauh lebih muda.
“Selamat pagi”, jawab Darso.
Lelaki tampan seusia Darso itu kemudian mendekati kranjang garam yang tetap nongkrong di atas sepeda Darso. Sebungkus garam batangan diambilnya, ditimang-timang, dilihatnya sederetan tulisan yang ada di permukaan plastik bungkus garam itu.
“Mau dibawa ke mana, pak ?”, lanjut lelaki itu.
Darso tahu maksud pertanyaan itu, maka dengan singkat dia menjawab, “Ke pasar”.
“Kenapa garam sebanyak ini Cuma diangkut pakai sepeda, pak ?. Ma’af ya pak, apa tidak sebaiknya pakai motor ?. kan kasihan sepedanya, pak”, papar lelaki itu seolah memberi petuah ala seorang pejabat.
Darso tidak tersinggung dengan pertanyaan itu. Dia memaklumi, memang mengangkut beban berat, apalagi jaraknya cukup jauh, sekarang ini sudah tidak jamannya lagi dengan pakai sepeda, sedangkan pencari rumput saja banyak yang pakai motor.
“Saya baru dua kali ini pakai sepeda, pak. Sebelumnya juga pakai motor”, Darso menjelaskan.
“Tapi kenapa motornya tidak dipakai ?”, selidik lelaki itu.
“Ya, sejak harga BBM naik saya memutuskan untuk tidak pakai motor, pak. Bayangkan saja !, kemarin ketika sidang kenaikan harga BBM belum jelas keputusannya, sudah banyak pedagang yang mencuri start untuk merubah harga dagangannya. Apalagi sekarang, jelas-jelas pemerintah telah  memberlakukan. Sudah bisa dipastikan tarip kencing di toilet umumpun akan berubah. Jadi tidak ada barang tidak berubah harga. Hanya di masjid atau surau saja yang tetap bertahan tidak memasang tarip kencing”, jawab Darso yang terkesan jengkel.
“Kalau semua berubah harga, garamnya bapak ya dirubah saja harganya, biar penghasilan bapak juga ikut berubah, sehingga kondisi ekonomi bapak tetap stabil”, argumen lelaki itu memotivasi Darso.
                         Darso diam tak bicara, namum pikirannya tidak diam. Masih terngiang kata-kata lelaki itu, tentang ‘harga berubah tetapi ekonomi tetap stabil’. Mana mungkin keadaan itu dengan mudah bisa terjadi, semudah teori yang dikatakan lawan bicara Darso, sedangkan yang sudah terjadi berulang-ulang, setiap terjadi kenaikan BBM, dampaknya selalu memperdalam jurang kemiskinan. Darso memang orang kecil berpendidikan rendah, maka yang dia jadikan rujukan  bukanlah teori yang muluk-muluk, tetapi pengalaman yang dialami. Maka penyesalan Darso sangat sederhana sekali, yaitu meratapi para pendahulu republic ini yang telah menyusukan subsidi BBM kepada rakyat, sehingga berdampak pada ketergantungan yang sulit untuk dilepaskan. Seandainya sejak dahulu tidak ada subsidi BBM mungkin tidak akan begini kejadiannya.
“Sekarang ini segala macam pekerjaan banyak pesaingnya, pak, sehingga mau menaikkan harga barangpun tidak boleh gegabah kalau masih menginginkan dagangannya laku. Apalagi barang saya ini garam,  dimana-mana banyak orang jual. Akhirnya, ya biar dapat untung sedikit asal  pulang bawa uang untuk menyambung hidup nanti sore dan esuk hari. Kalau dulu sebelum BBM naik harga  sih masih punya sisa untuk ditabung, tapi sejak kemarin justru tabunganya yang ganti membantu kekurangan hasil yang saya peroleh. Maka saya pikir lebih baik tidak pakai motor, biar tidak tambah ongkos”, urai Darso.
“Ma’af lagi ya, pak. Bapak kebagian BLT, kan ?”, Tanya lelaki itu seakan mengintrograsi.
“Dapat, tapi sudah dipakai untuk bayar seragam sekolah anak saya“, jawab Darso jujur.
“Tenang, tidak usah galau, pak, nanti saya carikan solsinya. Bapak punya ijasah,kan ?”, lanjut lelaki itu berlagak orang penting.
“Punya, tapi hanya SMP”, jawab Darso merendah.
Lelaki itu lantas mengambil sobekan kertas dan bolpoin dari saku bajunya. Sepertinya ada yang dituliskan pada sobekan kertas itu. Entah apa. Tapi kalau menyimak  guratan keningnya sih kelihatan serius banget.
“Tak apa, ini bapak saya kasih memo, besuk segera saja diserahkan ke bupati. Lalu bapak tanya ke dia, kapan memo dari saya ini bisa direalisasikan. Oh ya, untuk lebih memantapkan, bapak sebut saja nama saya ‘Andika’ menteri kehutanan yang memberi memo ini. Percaya  sama saya, pak, tinggal tunggu seminggu dua minggu bapak akan diangkat jadi PNS. Paham, pak ?”,kata lelaki itu sambil memberikan robekan ketas kepada Darso.
Darso menerima kertas itu. Dilihatnya sederetan tulisan yang dikatakan memo tadi. Kalau diniai dari omongan  dan maksud yang terkandung pada tulisan itu sih memang tak perlu diragukan lagi kalau perilaku yang demikian itu umumnya milik pejabat penting. Tapi, apa ya ada pejabat kok menyesatkan diri di gardu tua, pakai kendaraan sepeda ontel, sendirian lagi ?. Seandainya dia memang betul pejabat, lantas apa tujuannya dia memartabatkan dirinya sebagai orang kecil ?. Apa dia lagi mengintelejeni dampak kenaikan BBM ini ?. Beberapa pertanyaan itu lahir dari pikiran Darso yang kurang yakin dengan apa yang baru dijumpainya.
                         PNS, Pegawai Negeri Sipil seperti yang ditawarkan lelaki itu, kehidupannya dijamin pemerintah, tak gentar dengan kenaikan harga BBM. Sungguh merupakan sebuah tahta surga dunia menurut Darso. Bagaimana tidak ?. Lha wong sudah jadi pedoman umum kok, kalau BBM berubah harga, barang di pasaran  berubah harga, sampai sembako juga berubah harga, gaji PNS bertambah banyak, orang kecil terbirit-birit. Kenaikan harga BBM dijadikan alasan subsidi yang salah alamat. Lagi pula, kenapa sih ada iklan di TV yang seolah menyesalkan tentang delapan puluh  persen subsidi BBM salah sasaran hingga penikmatnya para orang kaya ?. Orang-orang cerdas yang mengemudikan pemerintahan sejak semula kan sudah sangat faham, kalau subsidi itu untuk kalangan bawah, tapi kenapa para operator mesin-mesin pompa BBM tak punya nyali untuk melayani pembelinya sebagaimana mestinya ?. Itu kan sangat kentara kalau nyali para operator telah dikarantina agar tidak mengenali level pembelinya. Coba saja, seandainya ada identitas anti manipulasi yang hanya dimiliki orang-orang yang layak menerima subsidi BBM, dan ada sanksi hukuman bagi yang melanggar, tentu saja subsidi BBM tidak akan salah alamat.
                         Darso di usia remajanya memang pernah berharap jadi orang yang kehidupannya kelak ditanggung oleh pemerintah. Namun semenjak orang tuanya yang buruh tani tak mampu lagi membeayai sekolahnya di Sekolah Madrasah Aliyah, maka Darso lebih memilih menyandang gelar ‘Drop Out’. Dan sejak itu pula ia membunuh asanya untuk menjadi PNS.
“Kenapa merenung, pak ?. Bapak masih bingung dengan keterangan saya tadi ?”, ucap lelaki itu mengusir lamunan Darso.
“Ti…ti….tidak, pak, saya cuma terbayang dengan opini para pakar polotik tentang kenaikan harga BBM kemarin di TV”, sangkal Darso.
“Jangan kebawa sama mereka, pak !. Bapak tahu, nggak, yang namanya polotik itu tak pernah punya tampang yang tetap ?. Jadi mereka itu siluman yang tampangnya berubah-ubah sesuai dengan impian publik, karena mereka menghendaki dukungannya demi kesuksesan pribadi  atau kelompoknya meraka”, kata lelaki tampan itu yang kemudian mendekati sepedanya.
“Jadi bapak jangan bingung, apalagi bimbang dengan bantuan saya tadi. Besuk bapak harus  meluangkan waktu untuk bisa ketemu sama bupati. Ingat, peluang ini hanya saya kasihkan untuk bapak, yang lain tidak, dan tidak ada kesempatan yang kedua kali. Nah, sekarang silahkan bapak menunggu hujan reda, sedang saya harus pamit meneruskan perjalanan”,lanjut lelaki misterius itu yang diakhiri dengan berjabat tangan.
“Pak, hujannya masih deras”, Darso memperingatkan.
“O…,nggak masalah, pak. Saya sudah terbiasa kehujanan”, jawab lelaki itu sambil mrengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Kiranya ada sebuah benda yang sedang dipegang, kemudian ditiup. Oh,  balon. Dan balon yang belum begitu penuh dengan udara itu lantas diikat di garpu depan sepedanya.
“Dug...dug…du...dug…dug…”, lelaki itu membuat suara seperti letupan mesin motor dari mulutnya. Sepedanyapun mulai bergerak. Putaran jeruji roda depan yang bersentuhan dengan balon menghasilkan bunyi yang mirip dengan suara yang sudah terlebih dahulu lepas dari mulutnya. Lelaki aneh bersama kendaraannyapun pergi ditelan hujan.
“Gila”,  gerutu Darso menanggapi peristiwa yang baru saja terlintas di depan matanya. Kegundahan yang semula menyelimuti pikiran sementara lepas terbawa lelucon konyol yang tak pernah terpikir sebelumnya. Darso tersenyum simpul mengingat dirinya sendiri yang baru saja terlibat kedalam akting  gila yang dimainkan oleh orang gila. Tapi Darso benar-benar bersyukur dengan kondisinya yang waras, walaupun lagi diperankan sebagai orang yang kekurangan materi oleh Tuhan. Dia sangat percaya Tuhan akan merubah nasib orang yang sungguh-sungguh mau berusaha merubahnya, kendatipun kerja keras yang menjadi taruhannya.
                         Hujan mulai reda, tinggal butiran air kecil-kecil yang masih berjatuhan dari langit. Namun Darso belum berniat meninggalkan gardu. Ia harus menambah kesabarannya sampai  air benar-benar berhenti menetes, karena mempertimbangkan barang bawaannya rawan terhadap air. Apalagi barang itu merupakan satu-satunya harapan untuk menopang kehidupan keluarganya setelah semuanya habis terjual. Akan tetapi begitu hujan benar-benar reda, dan Darso sudah siap mengayuh sepedanya,  tiba-tiba ada sosok mobil mewah yang berhenti tepat di depan gardu, maka Darsopun  menahan niatnya begitu melihat seorang perempuan muda keluar dari pintu mobil.
“Selamat pagi, pak”, wanita itu mengucap salam.
“Selamat pagi”, balas Darso.
Wanita itu diam sejenak, tetapi tangan kanannya mengambil sesuatu dari dalam tas yang dibawanya.  Dan sebuah foto ukuran postcard terangkat dari tas, kemudian ditunjukkan kepada Darso sembari bertanya, “Ma’af, kalau boleh tanya, apa bapak pernah ketemu atau pernah melihat orang ini ?”.
Begitu melihat foto itu Darso langsung saja mengenali.
“ya…ya…, saya tahu, tadi sempat berbincang di sini dengan saya. Namanya ‘pak Bargawa Rangga Samudra’, kan ?. Dia sudah pergi , tapi belum jauh kok. Arahnya ke sana”, jawab Darso disertai dengan telunjuk tangan kanannya yang diarahkan ke jalan yang dilintasi pak Bargawa.
“Betul, pak. Namanya sama dengan yang bapak sebutkan. Maka saya sangat berterima kasih atas petunjuknya, pak. Dan kalau bapak berkenan, tolong bapak tuliskan nama dan alamat bapak disini”, timpal wanita cantik itu dengan mengulurkan buku kecil bersama bolpoin kepada Darso.
Darso memenuhi permintaan wanita yang kelihatan resah di depannya. Namun wanita itu segera pergi setelah menerima buku dan bolpoin dari Darso. Demikian juga Darso, cepat-cepat meninggalkan gardu tua untuk melanjutkan tujuannya ke pasar menjual garam.

                                                                 Pati Utara, awal Juni 2013

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

B

Diberdayakan oleh Blogger.

Quote

Pengikut

Entertainment News

Sport News

Search

MENU

C

Quote

Postingan Populer

Recent Posts

Theme Support

Pages